Parasitisme ilmu
Kedua : Suka berdebat dan berjidal.
Telah terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal (berdegil),
((ما ضلّ قوم بعد هدىً إلا أوتوا الجَدلّ)) ثم قرأ ) {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} (الزخرف:58)
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertemgkar.” (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shahih).
Telah berkata sebahagian salaf: “Apabila Allah mengehendaki suatu kebaikan untuk seorang hamba, Allah membukakan untuknya pintu amal, dan menutup darinya pintu jidal, dan apabila Allah mengehendaki kejelekan untuk seorang hamba, Allah menutup untuknya pintu amal dan membuka baginya pintu jidal.”
Berkata imam Malik: “berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan.” (Ibnu rajab, Fadhlu ilmu salaf: 35).
Diantara sifat salaf adalah sedikit berbicara, diamnya salaf dari berbantah-bantahan dan berjidal bukannya karena mereka itu lemah dan bodoh, tetapi mereka diam diatas penuh ilmu dan penuh takut kepada Allah.
Adapun banyak pembicaraan dan komentar dari orang-orang setelah mereka bukan berarti mereka lebih berilmu dari salaf tetapi disebabkan karena mereka suka banyak bicara dan kurangnya warak.
Sebagaimana yang dikatakan hasan Al Bashri tatkala ia menyasikan orang saling berdebat: “mereka adalah kaum yang malas beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka ngobrol” . (Ibnu rajab, Fadhlu ilmu salaf: 36).
Berkata Ibnu mas’ud radhia allahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak ulamanya sedikit para khatibnya, akan datang sesudah kalian masa yang banyak khatibnya tetapi sedikit ulamanya, barang siapa yang luas ilmunya dan sedikit omongannya, maka ia adalah terpuji, dan barang siapa yang sebaliknya maka ia adalah tercela.”
Ibnu rajab berkata: “Kebanyakan generasi sekarang mengira bahwa banyak bicara, suka berjidal, suka berbantah dalam masalah agama, adalah lebih tau dari orang yang tidak seperti demikian, inilah suatu kebodohan, coba kita lihat bagaimana para sahabat sangat sedikit perkataan mereka bila dibandingkan dengan perkataan tabi’iin, sedangkan para sahabat jauh lebih berilmu bila dibandingkan dengan tabi’iin, begitu juga halnya tabi’ tabi’iin dengan tabi”in, ilmu bukanlah diukur dengan banyak riwayat dan tidak pula diukur dengan banyak omongan tetapi ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah kedalam hati seseorang yang menjadikannya paham tentang kebenaran, dan mampu membedakan antara yang hak dengan yang batil, serta mengungkapkannya dengan perkataan yang simpel dan padat serta tepat dalam menyampaikan kepada apa yang di maksud” (Ibnu Rajab, Fahdul Ilmi salaf: 37-38)
Maka perlu untuk diketahui bahwa sesungguhnya bukanlah setiap orang yang luas pembicaraanya, pintar ngomongnya lebih berilmu dari orang yang tidak demikian halnya, sungguh di akhir zaman ini kita telah mendapat cobaan dari sebahagian manusia yang berpandangan demikian.
Ketiga : Mendahulukan kepentingan duniawi diatas kepentingan ukhrawi.
Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab beliau (fadhlu ilmu salaf hal: 52-54) beberapa bentuk sikap orang yang memburu kesenangan dunia dengan memobilisasi ukhrawi, adakalanya mengaku memiliki ilmu tentang keagamaan, tetapi tujuannya dibalik itu adalah ingin mencari kududukan ditengah-tengah manusia, baik dikalangan penguasa atau lainnya, atau untuk mencari pengikut yang banyak dan berbangga dengannya, seperti mengaku sebagai wali dan sebagainya.
Diantara ciri-cirinya lagi adalah tidak mau tunduk kepada kebenaran, dan memiliki kesombongan terhadap orang yang menegakkan kebenaran, apalagi bila orang tersebut tidak terpandang dimata manusia, kemudian tetap berpegang dengan kebatilan karena takut terbukanya kedok kesesatan dan kebodohannya, saat tersebarnya kebenaran ditengah-tengah manusia.
Boleh jadi kadangkala ia mecela dirinya sendiri, agar dianggap sebagai orang yang memiliki sifat tawadhuk, supaya orang lain memujinya.
Allah telah berfirman dalam kitab suci-Nya:
{مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَمَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ} [هود: 15-16]
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya kami akan memberikan balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun didalamnya, mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan di akhirat kelak kecuali neraka, dan hilanglah segala apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah segala apa yang telah mereka kerjakan.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa ia berkata:
((لو أن أهل العلم صانوا العلم ووضعوه عند أهله لسادوا به أهل زمانهم ولكنهم بذلوه لأهل الدنيا لينالوا به من دنياهم فهانوا عليهم سمعت نبيكم صلى الله عليه وسلم يقول من جعل الهموم هما واحدا هم آخرته كفاه الله هم دنياه ومن تشعبت به الهموم في أحوال الدنيا لم يبال الله في أي أوديتها هلك))
“kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh kedunian mereka, maka mereka dihinakan (dihadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiranya niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan dilembah manapun ia binasa.” (HR. Ibnu Majah no: 257).
Dalam kenyataan sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang yang binasa dan celaka dalam berbagai lembah yang hina, demi mencari kesenangan duniawi dengan memperdagangkan urusan ukhrawi, ada yang binasa dilembah maksiat, lembah partai politik, lembah muzawwir dan mutawwif (khusus bagi yang beada di Madinah dan Makkah), dan lain-lain sebagainya, harapan orang tua, sanak family dan orang kampung serta umat telah lenyab ditelan masa entah dilembah mana tercecernya.
Imam Asy Syaukany mengulas dalam kitabnya “Adabuthalab wal muntahal’arib”: diantara sebab yang membuat seseorang menjauhi kebenaran, dan menyebunyikan dalil-dalil kebenaran serta tidak menerangkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk menerangkannya adalah kecintaan kepada kehormatan dan harta.
Banyak fenomena yang kita saksikan di tengah para thalabul ilmi, yang tidak mungkin kita kupas dalam bahasan yang ringkas ini, tetapi orang yang arif dan bijak dengan isyarat sudah cukup untuk mengingatkannya.
Wallahu a’alam bishawaab.
Untuk lebih menambah kepuasan tetang topik bahasan kita kali ini silakan para ikhwan merujuk buku-buku berikut ini:
- Kitabul ‘ilmi karangan Abu Khaitsamah.
- Al fagiih wal Mutafaqqih karangan Khatib Al Baghdady.
- Iqtidhak Al ‘ilmi Al ‘amal karangan Khatib Al Baghdady.
- Jami’ bayan al ‘ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdilbar.
- Tazkirotusami’ wal muta’alim karangan Ibnu Jama’ah.
- Fadhlu ilmu salaf karangan Ibnu Rajab Hambaly.
- Adabut Thalab karangan Imam Asy Syaukany.
- Kitabul ‘ilmi karangan Syekh Al ‘utsaimin.
- Kaifa Tathlubu ‘ilma karangan Abdullah Jibrain.
- Hilya thalibil ‘ilmi karang Bakar Abu Zaid.
- Ma’alim fi thoriqil Ishlah karangan Abul Aziz As sadhaan.
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com